[Al Islam 618] Peristiwa
turunnya al-Quran di bulan Ramadhan setiap tahun senantiasa
diperingati, begitu pula tahun ini seperti yang marak dilakukan pada
hari-hari ini. Peringatan itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur
atas diturunkannya al-Quran. Ramai dan semaraknya peringatan Nuzulul
Quran di negeri ini patut mendapat apresiasi. Namun tentu saja
peringatan itu tidak boleh berhenti hanya sebatas seremonial semata
seperti yang terlihat selama ini.
Pengkerdilan Al-Quran
Seruan “membumikan al-Quran” oleh
orang-orang liberal dimaknai sebagai reaktualisasi al-Quran.
Reaktualisasi al-Quran dimaknai bahwa kandungan al-Quran harus
ditafsirkan sedemikian rupa hingga sejalan dengan realitas aktual. Agar
al-Quran sejalan dengan perkembangan zaman modern maka harus ditafsirkan
ulang supaya bisa sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan pemaknaan
seperti itu akhirnya al-Quran ditundukkan pada perkembangan zaman.
Bagaimana mungkin al-Quran justru ditundukkan pada realitas rusak saat
ini, padahal al-Quran itu diturunkan untuk menjadi petunjuk hidup umat
manusia?
Bahkan ada yang lebih lancang dengan
menggugat keaslian al-Quran. Ada juga yang menuduh bahwa al-Quran itu
tidak lepas dari ucapan dan pengungkapan Muhammad yang tidak bisa
dilepaskan oleh pengaruh konteks zamannya. Seruan dan tuduhan seperti
itu pada akhirnya justru akan merusak keyakinan umat akan kesucian
al-Quran dan bahwa al-Quran itu merupakan wahyu dari Allah SWT baik
lafazh maupun isinya sehingga pasti benar. Tak diragukan lagi bahwa
seruan seperti itu bukan mendekatkan kepada al-Quran tapi sebaiknya
justru menjauhkkan umat dari al-Quran. Sayangnya seruan yang berasal
dari para orientalis itu justru diusung orang muslim yang dianggap
intelektual. Tentu saja seruan itu dan semacamnya harus diwaspadai oleh
umat siapapun yang membawanya.
Disamping semua itu, juga ada beberapa
sikap keliru terhadap al-Quran. Kadang kala yang terjadi adalah
mistikasi al-Quran. Al-Quran diangap sebagai ajimat pengusir setan.
Padahal, al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia,
penjelasan atas petunjuk itu dan pembeda antara hak dan batil, benar dan
salah, baik dan buruk serta terpuji dan tercela.
Begitu juga, sudah mentradisi, setiap
tahun turunnya al-Quran dirayakan secara seremonial. Al-Quran dibaca dan
didendangkan dengan merdu di arena MTQ, tadarusan al-Quran juga marak,
dsb. Namun sayang, aktivitas tersebut belum diikuti dengan pemahaman
atas maksud diturunkannya al-Quran. Al-Quran yang diturunkan sebagai
solusi atas persoalan yang dihadapi oleh umat manusia, justru dijauhkan
dari kehidupan.
Al-Quran merupakan kalamullah dan
membacanya merupakan ibadah. Betul, bagi seorang Muslim, sekadar
membacanya saja berpahala (Lihat: QS al-Fathir [35]: 29), bahkan pahala
itu diberikan atas setiap huruf al-Quran yang dibaca. Akan tetapi, yang
dituntut oleh Islam selanjutnya adalah penerapan atas apa yang dibaca.
Sebab, al-Quran bukan sekedar bacaan dan kumpulan pengetahuan semata,
tetapi petunjuk hidup bagi manusia. Al-Quran tidak hanya sekadar dibaca
dan dihapalkan saja, melainkan juga harus dipahami dan diamalkan isinya
dalam kehidupan sehari-hari.
Sering kita mendengar pernyataan bahwa
al-Quran adalah pedoman hidup. Tetapi nyatanya al-Quran tidak dijadikan
sebagai sumber hukum untuk mengatur kehidupan. Al-Quran hanya diambil
aspek moralnya saja sementara ketentuan dan hukum-hukumnya justru
ditinggalkan.
Semua sikap itu sering diklaim sebagai
sikap mengagungkan al-Quran. Disadari atau tidak semua sikap itu masih
terjadi di tengah masyarakat. Padahal sesungguhnya sikap-sikap itu bukan
bentuk pengagungan terhadap al-Quran, tapi sebaliknya justru
pengkerdilan terhadap al-Quran. Bahkan boleh jadi semua itu termasuk
sikap yang diadukan oleh Rasulullah saw dalam firman Allah SWT:
tersentuh :)
BalasHapus